PERANG
DIPONEGORO
Pada
suatu hari di desa Tegalrejo kota Yogyakarta hidup seorang anak bernama Bendara
Raden Mas Mustahar ya Bendara Raden Mas Antawirya. Walaupun keturunan Kraton
Yogyakarta, Mustahar kecil diasuh di luar benteng istana oleh kakek dan
buyutnya. Beliau diajarkan bercocok tanam oleh kakeknya di pedesaan nan asri,
berbaur dengan masyarakat setempat.
Masa
kecil beliau penuh warna dan lebih memahami kehidupan masyarakat Yogyakarta
khususnya, pun masyarakat Indonesia pada umumnya. Penduduk kala itu banyak melakoni
menjadi pedagang, buruh tani, atau bahkan buruh dan budak karena dampak
revolusi industri di Eropa. Walau hidup di pedesaan Diponegoro kecil tetap
mendapat pendidikan untuk membaca dan menulis.
Ratu
Ageng Tegalrejo, permaisuri Hamengkubuwono I adalah buyut Pangeran Diponegoro. Dari
Ratu Ageng Tegal Rejo yang menuliskan cerita Menak Amir Hamzah berbahasa Persia
menjadi beraksara Jawa, Diponegoro setiap malam diceritakan kisah heroik
seorang sosok pemimpin bernama Hamzah.
“Tyang
Agung Jayengrana, ya Amir Hamzah seorang paman dari Rasulullah SAW yang dahulu
menjadi seseorang yang membela kebenaran dan menegakkan agama tauhid,
meng-Esakan Tuhan, menjadi badiuzzaman atau cahaya zaman.” Ucap Ratu Ageng
Tegalrejo kepada Diponegoro kecil saat menceritakan serat Menak.
“Nggih
eyang, saya begitu kagum dengan beliau Amir Hamzah, pangestu eyang Ratu Ageng
Tegalrejo saya simpan, doakan aku kelak menjadi pemimpin dalam kebajikan dan
dapat menumpas ketidak adilan Eyang.” Pinta Diponegoro Kecil.
Mas
Mustahar tak hanya tumbuh menjadi sosok yang pandai karena rajin membaca dan
belajar, lingkungan pula membesarkannya menjadi pribadi yang bijaksana dan
religius. Forum-forum pengajian dan perkumpulan ulama beliau sambangi.
Ternyata
saat remaja beliau melihat revolusi industri turut merajalela di bumi
kelahirannya, Yogyakarta. Rel-rel kreta dan jalan beraspal gencar di bangun,
asap-asap pabrik membumbung tinggi, lahan pertanian berubah menjadi
tanaman-tanaman industri, dan perbudakan terhadap pribumi. Salah satu lahan
pemakaman milik leluhur Diponegoro menjadi areal yang akan diratakan dengan
jalan beraspal.
Kemarahan
Diponegoro mencuat, bukan hanya sekedar karena rencana penggusuran areal
pemakaman nenek moyangnya yang akan dibangun jalan raya, namun lebih dari itu
ia sebagai warga asli Yogyakarta merasa tak lagi dihargai oleh kompeni dan VOC.
“Semakin
merajalela saja VOC dan orang-orang asing di tanah Mataram ini!” Ucap Pangeran
Diponegoro merasa diremehkan.
“Aku
dan semua elemen nusantara akan bersatu untuk menumpas kebiadaban kompeni!”
Maka
para sentana dan pangeran kraton Yogyakarta turut dalam pertempuran itu, para
ulama, rakyat, pedagang, petani pun juga semua unsur masyarakat menyatu dan
membentuk pasukan perang.
Selama
kurun waktu 1,5 tahun pertama, pangeran Diponegoro bermasrkas di goa Selarong
di Bantul. Siasat-siasat perang selalu diutamakan. Berkat literasi kitab Menak
Amir Hamzah yang piawai dalam hal strategi perang, pangeran Diponegoro berhasil
membangun pasukan berdasarkan sistem perang Turki dengan mengadopsi cara dan
nama-nama pasukan perang Turki. Pangeran Diponegoro dan para pemimpin pasukan
perang memakai jubah perang, keris, berkuda dan juga bersurban di kepala
sebagai tanda perang yang mereka lakukan adalah perang suci yang meneggakan
keadilan di tanah nusantara.
“Perang
ini adalah perang suci, kami berperang atas nama keadilan. Rakyat nusantara tak
boleh gentar! Kita harus menang dan menjadi tuan di negeri kita sendiri!” Seru
pangeran Diponegoro menyemangati dan membakar spirit pemimpin dan prajurit
perang.
Jenderal
De Kock di pihak Belanda merasa gentar dengan kegigihan pasukan Diponegoro yang
sangat ahli.
“Pasukan
Diponegoro semakin menjadi-jadi saja, tak akan aku biarkan kita kalah dalam
perang ini. Siapkan pasukan terbaik untuk mengalahkan Pangeran Ngabehi di Kulon
Progo!” ucap Jenderal De Kock mencoba memukul mundur pasukan pribumi.
Pangeran
Ngabehi berhasil dikalahkan oleh kompeni di daerah Kulonprogo. Semangat
pangeran Diponegoro sempat goyah, sebab pangeran Ngabehi merupakan pemimpin
perang yang gigih di pihak pribumi.
Perang
selama lima tahun itu benar-benar dahsyat dimenangkan oleh Pangeran Diponegoro
sebagai wakil dari rakyat pribumi. Bersama para pengikutnya, Diponegoro
menyusun siasat dan strategi untuk menyerang VOC. Perang Diponegoro membangkrutkan
lumbung kas Belanda dan juga menewaskan sekitar dua ratus ribu orang.
Perang
dahsyat ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, disebut juga sebagai Perang Jawa
dan digambarkan dalam lukisan Perang Baratayudha oleh Hamengkubuwono V.
DIPONEGORO
Karya Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943
Tidak ada komentar:
Posting Komentar