Selain pusaka, Ki Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Sela.
Karya ini ditulis oleh Ki Ageng Selo,
seorang mistikus Jawa yang hidup antara abad 15, di jaman Kerajaan Demak. Ia
adalah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondan Gejawan, putra Prabu Brawijaya
(Raja Majapahit yang terakhir) dari istrinya yang termuda. Cicitnya,
Sutawijaya, menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Kedua (R.M. Soetardi
1980:8-9). Ia hidup di jaman peralihan budaya, dari Buddha-Hindu keIslam, karenanya karyanya
mencerminkan sintesa unsur-unsur mistikal Islam danHindu.
Serat PEPALI : Tasawuf Jalma luwih medharken mamanis,
Kang cinatur Kitap Tafsir Alam. Tinetepan umpamane:Ingkang segara agung, Lawan
papan kang tanpa tulis,Tunjung tanpa selaga, Sapa gawe iku? Kalawan jenenging
Allah. Lan Muhammad anane ana ing endi? Ywan sirna ana apa?
Artinya: Manusia terpilih membentangkan perihal yang
sedap/ Yang dibicarakan dalam Kitab Tafsir Alam./ Dinyatakan misalnya:/Samudera
besar,/ Dan tempat yang tak bertulis,/ Teratai yang tak berkuncup,/ Siapa yang
membuat?/Dan nama Allah/ dan Muhammad dimana adanya?/ Bila lenyap apa yang
masih ada?
Damar murup tanpa sumbu nenggih, Godhong ijo ingkang tanpa wreksa, Modin tan ana bedhuge, Sentek pisan wus rampung, Tanggal pisan purnama sidi, Panglong grahana lintang, Iku semunipun, Kang sampun awas ing cipta. Aja sira katungkul maca pribadi, Takokna kang wus wignya.
Artinya: Pelita menyala tak bersumbu,/ Daun hijau tak
berpohon,/ Muazin tak ada beduknya,/ Sekali tarik sudah tamat,/ Tanggal satu
bulan purnama,/ Panglong gerhana bintang,/ Itulah lambang,/Manusia yang sudah
waspada akan ciptanya./ Jangan selalu membaca sendiri saja./ Tanyakanlah kepada
yang sudah tahu.
Lawan sastra adi kang linuwih, Lawan Kur’an pira sastra nira, Estri priyadi tunggale, Lawan ingkang tumuwuh, Sapa njenengaken sireki? Duk sira palakrama, Kang ngawinken iku? Sira yen bukti punika, Sapandulang yen tan weruha, sayekti. Jalma durung utama.
Artinya: Dan sastra indah-utama berapa jumlahnya,/
Kitab Al-Quran berapa sastranya,/ Perempuan dan laki-laki utama ada berapa
jodohnya?/dan berapa jumlahnya yang tumbuh?/ Siapa yang memberi nama
kepadamu?/Waktu kamu kawin./Siapa yang mengawinkan?/Kalau makan siapa yang
menyuapi?/ Jika belum mengetahuinya, sebenarnya/Belum menjadi manusia yang
utama.
Lawan angangsu pikulan warih, Amek geni pan nganggo
dedamar, Kodhok angemuli lenge, Rangka manjing ing dhuwung, Miwah baita mot ing
jladri, Kuda ngrap ing pandengan. Lan gigiring punglu, Tapake kuntul anglayang,
Kakang mbarep miwah adhine wuragil. Tunjung tanpa selaga.
Artinya: Mencari air membawa sepikul air,/ Mencari api
membawa pelita (damar),/ Katak menyelubungi liangnya,/ Sarung masuk ke dalam
keris,/dan sampan berisi samudera,/ Kuda melonjak dimuka pandangan,/ Punggung
peluru, dimana?/ Bekas kuntul yang melayang-layang,/ Kakak si sulung, adik si
bungsu,/Teratai tak berselaga.
Lawan siti pinendhem ing bumi, Miwah tirta kinum jroning toya, Lawan srengenge pinepe, Lawan geni tinunu, Pan walanjar dereng akrami, Prawan adarbe suta, Ndhog bisa kaluruk, Jejaka rabine papat, Pan wong mangan saben dina-dina ngelih, Lawan mangan sapisan (pan wus marem).
Artinya: Dan tanah tertanam dalam bumi,/ Atau air
terendam dalam laut,/ Matahari dijemur,/ Dan api terbakar (ditunu),/ Janda belum
pernah kawin,/ Dara (gadis) berputera,/ Telur dapat berkokok,/ Bujang beristeri
empat,/ Orang makan sehari-hari lapar,/ Dan makan sekali (sudah puas).
1. Simbolisme ‘Samudera Besar’ Bait yang berbunyi ingkang segara agung (samudera besar), dijelaskan maknanya sebagai berikut:
Ingkang samodra agung, Tanpa tepi anerambahi. Endi
kang aran Allah? Tan roro tetelu. Kawulane tanna wikan, Sirna luluh kang aneng
datu’llah jati, Aran sagara Purba.
(Samudera besar yang tak bertepi, meresapi seluruh
alam. Manakah yang disebut Allah? Tak ada lainnya (dua atau tiga). Makhluknya
tak ada yang menyadari, Karena musnah terlarut dalam zat Allah sejati, Yang
disebut Lautan Purba.)
‘Samudera besar’ menyimbolkan sesuatu yang tak bertepi, tak berbatas, dan
melingkupi seluruh alam; agama menyebutnya ‘Tuhan’ atau ‘Allah’. Simbolisme
‘samudera besar’ dipakai untuk menggambarkan ketunggalan zat Allah. Dalam
samudera, misalnya, ada organisme-organisme yang hidup dengan cara
menggantungkan diri sepenuhnya dengan air samudera. Jika air itu kering, maka
organisme-organisme yang di dalamnya akan mati. Begitu pula dengan Allah. Semua
ciptaanNya amat bergantung kepadaNya, sama tergantungnya dengan ikan terhadap
air. Jika Allah tidak ada, sama dengan tidak adanya air, maka semua ciptaan tidak
akan ada (sama dengan tidak adanya ikan tadi). Seluruh ciptaan, karena amat
tergantung pada Allah, maka tentu kekuasaannya terbatas; terbatas pada usia,
umur, dan kematian. Hanya Allah yang tidak terbatas; Ia senantiasa Abadi,
Takterbatas, Luas, Hidup, yang disimbolkan pula dengan ‘Lautan Purba’.
Simbol ‘samudera luas’ atau ‘lautan asal’ juga menggambarkan asal seluruh
keberadaan. Allah disebut ‘Lautan Asal’, karena ialah asal mula dari segala
penciptaan. Sebelum segalanya tercipta, hanya ada Allah, dan sesudah segalanya
tiada, hanya ada Allah. Dalam Al-Quran, kitab Muslim, dikatakan ‘Innaa lillaah
wa innaa ilaihi raaji’uun’ (sebenarnya kita adalah milik Allah dan kita kembali
kepadaNya), yang amat sinkron dengan simbol ‘lautan purba’ ini.
2. Simbolisme ‘Tempat tak Bertulisan’ Bait lawan papan
kang tanpa tulis (dan tempat yang tak bertulis) dijelaskan maknanya dalam
pepali berikut ini:
Ana papan ingkang tanpa tulis. Wujud napi artine
punika, Sampyuh ing solah semune, Nir asma kawuleku, Mapan jati rasa sejati.
Ing njro pandugeng taya. Marang Ing Hyang Agung. Pangrasa sajroning rasa,
Sayektine kang rasa nunggal lan urip,Urip langgeng dimulya.
(Ada tempat yang tak bertulisan. Kosong mutlak artinya
itu, Dalamnya lenyap terlarut segala gerak dan semu. Hapus sebutan Aku karena
Masuk kedalam inti rasa sejati, Didalam tiada bangun (sadar) Kediaman Hyang
Agung Perasaan masuk kedalam rasa, Sebenarnya rasa sudah bersatu dengan hidup,
Hidup kekal serba nikmat).
Biasanya, tempat (ruang, dimensi) memiliki nama, atau paling tidak, dinamai
oleh manusia dengan kata-kata atau bahasa. Tapi disini, Ki Ageng Selo menyebut
adanya ruang atau dimensi yang tak sanggup dilukiskan dengan kata-kata atau
bahasa manusia. Ruang (dimensi) itulah yang disebut agama sebagai ‘ruang Allah’
(baitullah, ‘rumah Allah’). Maksudnya, bukan baitullah yang ada di Mekkah,
Saudi Arabia, yang juga merupakan lambang atau simbol ‘ruang Allah’, tapi
maksudnya sungguh-sungguh ‘ruang Allah’, suatu dimensi tersendiri yang tak
mampu dinamai kata-kata dan tak mampu disebut dalam bahasa biasa, yang di
dalamnya Allah berada. Ki Ageng menyebutnya ‘zat Allah’ atau ‘kekosongan
mutlak’ (wujud napi artine punika).
Dalam ‘ruang kosong mutlak’ atau ‘marang ing Hyang Agung’ (kediaman Tuhan
Agung), tak ada prinsip ‘gerak’ lagi, sebab ‘gerak’ hanya berlaku bagi ciptaan,
sedangkan ‘Si Penggerak’ yaitu Allah, tidak lagi membutuhkan ‘gerak’, justru
dari dialah ‘gerak’ bagi ciptaan itu ada dan dia sendiri tidak bergerak.
Seperti dalang, dialah yang menggerakkan semua wayang, tapi dia sendiri tidak
digerakkan, karena dia itu asalmula ‘gerak’ dan ‘gerak’ itu sendiri.
Aristoteles menyebutnya sebagai ‘Sang Penggerak yang tak tergerakkan’ (The
Unmoved Mover).
Orang yang ingin memasuki ‘ruang Allah’, dapat memasukinya dengan cara
olah-rohani atau ‘jalan mistik’. Dalam ‘jalan mistik’, manusia melenyapkan
dirinya (fana’) untuk masuk ke ‘kekosongan mutlak’ itu, masuk ke dalam zat
Allah dan melarutkan zatnya dalam zat Allah. Jika seorang berhasil masuk ke zat
Allah, maka segala kemanusiaannya untuk sementara lenyap, seperti orang yang
mabuk atau orang pingsan. Kesadarannya hilang, diganti dengan bentuk kesadaran
lain, yakni ‘rasa nikmat’ (ekstase), seperti rasa nikmat dari anggur yang
memabukkan.
3. Simbolisme ‘Teratai Putih tak Berkelopak’ Bait
tunjung tanpa selaga (teratai tak berkelopak) dijelaskan maknanya sebagai
berikut: Sasmitane ingkang tunjung putih/Tanpa slaga inggih nyatanira/Rokhilafi
satuhune/Datullah ananipun/Yeku sabda ingkang arungsit./Iku pan bangsa
cipta,/Hananira iku./Tandha kang darbe pratandha.
(Isyarat teratai putih/Tak berkelopak ialah
kenyataan./Ruhilafi sebenarnya./Itu adanya datullah,/Itu, sabda yang sangat
pelik./Itu kan perihal cipta,/Yang disebut itu./Sifat yang memiliki segala
sifat.)
Ada teratai, tapi tak berkelopak. Dan kalau teratai tak berkelopak,
bagaimana orang dapat mengenalinya, sedangkan bunga teratai nampak jelas
sebagai teratai apabila ia berkelopak. Ternyata, yang dimaksud Ki Ageng disini
bukanlah bunga teratai yang material dan empiris, yang akan nampak jika dilihat
oleh mata fisikal manusia. ‘Bunga teratai yang tak berkelopak’ ialah simbol
hakikat wujud Tuhan. Hakikat wujud Tuhan mustahil ditangkap oleh mata fisikal;
ia hanya dapat disimbolkan dengan daya imajinasi manusia, tapi tentunya dengan
simbolisme yang tidak biasa, seperti simbolisme ‘bunga teratai tak berkelopak’
yang sangat di luar kebiasaan itu. Dalam ajaran Sufisme-Jawa, hakikat wujud
Tuhan disebut dengan roh ilapi atau ruhilafi. Buku Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa karangan P.J. Zoetmulder sangat membantu untuk menjelaskan
apa yang dimaksud dengan ruhilafi disini. Zoetmulder menjelaskan, bahwa
ruhilafi ialah ‘…merupakan mata rantai utama antara Tuhan dan dunia. Berulang
kali diumpamakan atau disamakan dengan huruf alif, huruf pertama dalam alfabet.
Seperti semua huruf merupakan tanda, jadi manifestasi mengenai apa yang
dilambangkan, sedangkan huruf alif merupakan huruf pertama, demikian pula roh
ilapi merupakan manifestasi utama di antara para manifestasi ilahi. Oleh karena
itu dinamakan ‘’ratu semua roh’’ [ratu ning nyawa] atau ‘’ratu segala sesuatu
yang nampak [ratu ning salir kumelip]’ (Zoetmulder 1990:192-193). Jadi,
ruhilafi ialah roh pertama, manifestasi pertama, wujud pertama, bentuk pertama,
atau nampakan pertama dari Tuhan; agar Tuhan dapat dikenali oleh manusia,
tentunya lewat ‘mata-batin’, bukannya ‘mata fisikal’. Nampakan pertama Tuhan
itu sangat nyata, senyata-nyatanya, sehingga walaupun ia ‘tak berkelopak’, ia
masih dapat dikenali sebagai ‘bunga teratai’.
4. Simbolisme ‘Lampu Menyala tanpa Sumbu’ Bait damar
murup tanpa sumbu nenggih (lampu menyala tanpa sumbu) dijelaskan artinya
sebagai berikut: Damar murup tanpa sumbu nenggih/Semunira urup aneng Karsa./Dat
mutlak iku jatine!/Anglir tirta kamanu,/Kadi pulung sarasa jati./Puniku wujud
tunggal,/Aranira iku.
(Lampu menyala tanpa sumbunya/Itu lambang nyala pada
Kehendak./Dat Mutlak itu sebenarnya!/Sebagai air yang bercahaya,/Wahyu kesatuan
dengan rasa sejati./Itulah bentuk tunggal,/Yang disebut itu.)
Ada lampu, tapi tanpa sumbu. Ini pasti lampu yang luar
biasa, sebab mana ada lampu yang dapat menyala tanpa bantuan sumbu. Justru dari
sumbu itulah api mengeluarkan cahaya dan cahaya itu dapat menerangi
sekelilingnya. Dan keberadaan lampu sangat bergantung pada sumbu yang mengeluarkan
cahaya itu. Tapi, lampu ini berbeda; ia bukan lampu material. Ia simbol dari
‘nyala kehendak Tuhan’. Seperti ‘lampu yang nyala tak bersumbu’, kehendak Tuhan
menyala-nyala secara absolut dan mandiri; nyalanya bukan karena pribadi lain
yang merupakan ‘sumbunya’, tapi menyala karena diriNya sendiri. Ini serupa
dengan penjelasan sebelumnya, bahwa Aristoteles memandang Tuhan sebagai ‘Sang
Penggerak yang tak tergerakkan’ (The Unmoved Mover), yang bergerak sendiri
tanpa bantuan pribadi lain dan merupakan gerak tunggal yang paling pertama dan
yang absolut.
Simbolisme ‘lampu menyala tanpa sumbu’ untuk merepresentasi hakikat
kehendak Tuhan ternyata terinspirasi dari simbolisme Quranik. Dalam Surat
Al-Nur 35 terdapat simbolisme ‘lampu’. Disitu dikatakan: Tuhan (disimbolkan
dengan) ‘Cahaya Langit dan Bumi’. CahayaNya dianalogikan sebagai sebuah miskat
yang di dalamnya ada lampu besar. Lampu besar itu sendiri ada di dalam kaca,
sedangkan kaca itu dianalogikan dengan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak
pula di sebelah Barat. Minyak tersebut bisa menerangi sekelilingnya, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Tuhan membimbing orang yang Ia
kehendaki menuju cahaya-Nya itu.. Simbol ‘minyak menerangi tanpa api’ ini amat
analog dengan simbol ‘lampu menyala tanpa sumbu’ di atas.
5. Simbolisme ‘Daun Hijau tak Berpohon’ Bait Godhong ijo ingkang tanpa wreksa (daun hijau tak berpohon) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut: Godhong ijo tanpa wreksa iki,//Semunira ing masalah ing rat,//Lah iya urip jatine.//Dudu napas puniku,//Dudu swara lan dudu osik,//Dudu paningalira,//Dudu rasa perlu,//Dudu cahya kantha warna,//Urip jati iku, nampani sakalir,//Langgeng tan kena owah.
(Daun hijau yang tak berpohon,//Itu lambang masalah
alam.//Yaitu hidup sejatinya.//Bukan nafas itu,//Bukan suara dan bukan gerak
batin,//Bukan pemandangan,//Dan bukan rasa syahwat,//Bukan cahaya, bangun atau
warna.//Itulah hidup sejati, yang menerima segala persaksian,//Kekal tak ada
ubahnya.)
6. Simbolisme ‘Muazzin tanpa Bedug’ Bait Modin tan ana
bedhuge (muazzin tanpa bedug) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut:
Pasemone kang modin puniki,//Pan bedhuge muhung aneng
cipta,//Iya ciptanira dhewe.//Pan ingaken sulih Hyang Widi.//Cipta iku
Muhammad,//Tinut ing tumuwuh.//Wali, mukmin datan kocap.//Jroning cipta Gusti
Allah ingkang mosik,//Unine: rasulullah.//Lamun meneng Muhammad
puniki,//Ingkang makmum apan jenengira.//Dene ta genti arane,//Yen imam Allah
iku,//Ingkang makmum Muhammad jati.//Iku rahsaning cipta,//Sampurnaning
kawruh.//Imam mukmin pan wus nunggal,//Allah samar Allah tetep kang
sejati,//Wus campuh nunggal rasa.
(Yang dilambangkan oleh muazzin itu,//Karena akal
berperanan bedug juga,//Ialah akalmu sendiri.//Akan tetapi kamu itu//Sebenarnya
mewakili Hyang Widi juga.//Akal itu Muhammad,//Pemimpin hidupmu.//Wali, mukmin
tak disebut,//Dalam akal Tuhan Allah yang bergerak,//Katanya:
rasulullah.//Dalam ketenangan Muhammad itu,//Yang makmum ialah kamu sendiri.//Sebaliknya
pada yang disebut,//Allah sebagai imam//Yang makmum ialah Muhammad
sejati.//Itulah inti-sari akal,//Kesempurnaan ilmu.//Imam mukmin sudah
bersatu,//Allah bayangan dan Allah tetap yang sejati,//Sudah campur bersatu
rasa.)
7. Simbolisme `Buku, Bulan Purnama, dan Gerhana
Bintang’ Bait-bait sentek pisan wus rampung, tanggal pisan purnama sidi, dan
panglong grahana lintang diterangkan oleh Ki Ageng sebagai berikut:
sentek pisan wus rampung,//tanggal pisan purnama
sidi,//panglong grahana lintang,//Iku semunipun,//kang sampun awas ing cipta.
(Sekali singgung sudah tamat,//tanggal satu bulan
purnama,//tidak kurang gerhana bintang,//itulah lambang,//manusia yang sudah
waspada akan ciptanya.)
8. Simbolisme ‘Angka Satu’ Bait-bait seperti lawan
sastra adi kang linuwih, lawan Qur’an pira sastra nira, estri priyadi tunggale,
lawan ingkang tumuwuh tidak diterangkan jelas-jelas oleh Ki Ageng Selo dalam
Pepalinya.
(Dan sastra indah-utama, berapakah jumlahnya? Kitab
Al-Qur’an, berapakah sastranya? Perempuan dan laki-laki utama, ada berapakah
jodohnya? Dan berapakah jumlah yang tumbuh?)
Karya: Ki Ageng Selo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar