Awicarita (46)
Dalam istilah Jawa dikenal istilah awicarita. Awicarita adalah seseroang yang ahli mendongeng atau bercerita yang membuat pembaca merasa terharu. Istilah awicarita setaraf dengan paramengsastra (ahli di bidang bahasa dan sastra), paramengkawi (ahli dibidang karang-mengarang), mardawa lagu (ahli di bidang tembang dan lagu, mardawa berarti halus), mardawa basa (ahli di bidang merangkai bahasa yang mengharukan atau menyebabkan rasa haru di hati, yang menyebabkan rasa gembira, rasa kasih, dan sebagainya), mandraguna (sangat terampil dalam hal kemampuan dan pengetahuan), nawungkrida (halus perasaan sampai bisa menanggapi maksud hati orang lain, dan sambegana (utama sekal hidupnya). Pujangga yang bergelar awicarita memiliki beberapa kelebihan, baik lahir maupun batin. Seorang pujangga yang memiliki kelebihan batin berarti dapat mendengar akacacabda 'suara langit'. Yang dimaksudkan suara langit atau bisikan atau ilham yang datang dari langit atau dalam isitilah sastra Jawa disebut Jangka 'ramalan'.
Dalam perkembangannya, istilah awicarita juga digunakan dalam istilah pedalangan. Dalam istilah pedalangan, awicarita digunakan sebagai penyebutan bagi dalang yang mampu menguasai seluk-beluk wayang dan segala kelengkapannya. Dalang dapat disebut awicarita apabila dia memahami dengan benar semua cerita yang terkandung dalam sebuah lakon yang sedang ditunjukannya. Disamping itu, ia mengetahui semua boneka wayang kulit beserta ricikan-nya, yaitu berbagai peralatan dan perlengkapannya yang diperlukan secara mutlak untuk menentukan suatu lakon. Untuk menjadi awicarita, dalang harus dapat mengetahui dua belas macam keahlian.
Kedua belas hal pokok itu adalah
(1) antawacana berarti 'dialog'; maksudnya dalam mengemukakan antawacana, dalang harus dapat memberi perbedaan warna serta volume suara dari masing-masing tokoh wayang yang dilakonkan. Misalnya: volume suara Prabu baladewa sangat berlainan dengan volume suara Prabu Kresna ataupun Prabu Suyudana;
(2) rengep, dalam pagelaran wayang kulit, dalang harus berusaha agar penampilannya tidak menjemukan;
(3) enges, maksudnya sang dalang ditutut untuk bisa membedakan dialog-dialog antara tokoh-tokoh wayang yang telah bersuami atau beristri dengan tokoh-tokoh wayang yang sedang bertunangan atupun berpacaran;
(4) tutug, dalam pagelaran wayang, dalang tidak dibenarkan memperpendek dialog;
(5) pandai dalam sabetan, dalam hal ini, dalang dituntut kemahirannya dalam memainkan wayang, baik dalam adegan tari maupun adegan perkelahian (perang) dan membuat wayang tersebut seolah-olah hidup dalam pentas;
(6) pandai melawak, artinya selain memainkan wayang, dalang harus pandai melawak dengan banyolan-banyolan yang segar yang tidak menjemukan;
(7) pandai mengarang lagu, dalam pagelaran, sang dalang harus menguasai lagu-lagu untuk suatu adegan;
(8) pandai merangkai bahasa, sang dalang dituntut pula kepandaiannya dalam menggunakan tata bahasa untuk tokoh-tokoh wayangnya. Misalnya penggunaan wayang untuk dewa, pendeta, raja, raksasa, dan ksatria karena tokoh tersebut mempunyai ragam bahasa yang berlainan;
(9) faham kata-kata kawi, maksdunya, sang dalang harus menguasai kata-kata kawi dalam penggamaran suasana keraton dari tiap kerajaan;
(10) paham parameng kawi, maksudnya sang dalang harus memahami bahasa kawi dan dasanama 'sinonim' dari kata-kata kawi yang digunakan untuk penjelasan nama-nama lain dari tokoh wayang tersebut;
(11) paham parameng sastra, maksudnya, sang dalang harus mengetahui pakem-pakem pedalangan yang berhubungan dengan suluk dan greget saut.
Dalam istilah Jawa dikenal istilah awicarita. Awicarita adalah seseroang yang ahli mendongeng atau bercerita yang membuat pembaca merasa terharu. Istilah awicarita setaraf dengan paramengsastra (ahli di bidang bahasa dan sastra), paramengkawi (ahli dibidang karang-mengarang), mardawa lagu (ahli di bidang tembang dan lagu, mardawa berarti halus), mardawa basa (ahli di bidang merangkai bahasa yang mengharukan atau menyebabkan rasa haru di hati, yang menyebabkan rasa gembira, rasa kasih, dan sebagainya), mandraguna (sangat terampil dalam hal kemampuan dan pengetahuan), nawungkrida (halus perasaan sampai bisa menanggapi maksud hati orang lain, dan sambegana (utama sekal hidupnya). Pujangga yang bergelar awicarita memiliki beberapa kelebihan, baik lahir maupun batin. Seorang pujangga yang memiliki kelebihan batin berarti dapat mendengar akacacabda 'suara langit'. Yang dimaksudkan suara langit atau bisikan atau ilham yang datang dari langit atau dalam isitilah sastra Jawa disebut Jangka 'ramalan'.
Dalam perkembangannya, istilah awicarita juga digunakan dalam istilah pedalangan. Dalam istilah pedalangan, awicarita digunakan sebagai penyebutan bagi dalang yang mampu menguasai seluk-beluk wayang dan segala kelengkapannya. Dalang dapat disebut awicarita apabila dia memahami dengan benar semua cerita yang terkandung dalam sebuah lakon yang sedang ditunjukannya. Disamping itu, ia mengetahui semua boneka wayang kulit beserta ricikan-nya, yaitu berbagai peralatan dan perlengkapannya yang diperlukan secara mutlak untuk menentukan suatu lakon. Untuk menjadi awicarita, dalang harus dapat mengetahui dua belas macam keahlian.
Kedua belas hal pokok itu adalah
(1) antawacana berarti 'dialog'; maksudnya dalam mengemukakan antawacana, dalang harus dapat memberi perbedaan warna serta volume suara dari masing-masing tokoh wayang yang dilakonkan. Misalnya: volume suara Prabu baladewa sangat berlainan dengan volume suara Prabu Kresna ataupun Prabu Suyudana;
(2) rengep, dalam pagelaran wayang kulit, dalang harus berusaha agar penampilannya tidak menjemukan;
(3) enges, maksudnya sang dalang ditutut untuk bisa membedakan dialog-dialog antara tokoh-tokoh wayang yang telah bersuami atau beristri dengan tokoh-tokoh wayang yang sedang bertunangan atupun berpacaran;
(4) tutug, dalam pagelaran wayang, dalang tidak dibenarkan memperpendek dialog;
(5) pandai dalam sabetan, dalam hal ini, dalang dituntut kemahirannya dalam memainkan wayang, baik dalam adegan tari maupun adegan perkelahian (perang) dan membuat wayang tersebut seolah-olah hidup dalam pentas;
(6) pandai melawak, artinya selain memainkan wayang, dalang harus pandai melawak dengan banyolan-banyolan yang segar yang tidak menjemukan;
(7) pandai mengarang lagu, dalam pagelaran, sang dalang harus menguasai lagu-lagu untuk suatu adegan;
(8) pandai merangkai bahasa, sang dalang dituntut pula kepandaiannya dalam menggunakan tata bahasa untuk tokoh-tokoh wayangnya. Misalnya penggunaan wayang untuk dewa, pendeta, raja, raksasa, dan ksatria karena tokoh tersebut mempunyai ragam bahasa yang berlainan;
(9) faham kata-kata kawi, maksdunya, sang dalang harus menguasai kata-kata kawi dalam penggamaran suasana keraton dari tiap kerajaan;
(10) paham parameng kawi, maksudnya sang dalang harus memahami bahasa kawi dan dasanama 'sinonim' dari kata-kata kawi yang digunakan untuk penjelasan nama-nama lain dari tokoh wayang tersebut;
(11) paham parameng sastra, maksudnya, sang dalang harus mengetahui pakem-pakem pedalangan yang berhubungan dengan suluk dan greget saut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar