bismillah

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Rabu, 22 November 2017

Majalah Pusara dan Jurnalistik

Awalnya aku tak mengetahui apa itu Majalah Pusara, hingga akhirnya aku menghadiri sebuah diskusi rutin mben Selasa di Museum Dewantara Kirtigriya di Jalan Taman Siswa Kota Yogyakarta yang bertemakan tentang literasi. (10/10/2017)
Langsung saja dibabar tentang apa yang aku dapat dari diskusi ini ya…. Check this out…
Majalah Pusara merupakan majalah yang dibuat atas dasar prakarsa ki Hajar Dewantara, majalah ini tepatnya berdiri pada tanggal 31 Oktober 1931 dan tahun ini menginjak usia 86 tahun. Sampai sekarang, Majalah Pusara masih tetap konsisten dengan misinya sebagai penyebar pendidikan, ilmu dan pengamat tingkah laku pribumi sehari-hari.
Beruntung sekali aku
dapat menghadiri acara ini karena ternyata pematerinya adalah jurnalis-jurnalis kawakan. Dalam diskusi ini ada empat pemateri utama yaitu ki Kusworo, Prof. Cahyo, ki Priyo Dwiarso dan ki Warisman. Beliau merupakan orang-orang penting dibalik eksisnya Majalah Pusara, mereka memberikan banyak ilmu mengenai dunia jurnalis di Indonesia yang beliau alami. Tentu beliau telah banyak makan asam garam di dunia jurnalistik Indonesia mengingat usia mereka yang rata-rata di atas 70 tahun.
Ki Kuwsoro menjadi pembicara pertama di acara ini, beliau merupakan wartawan dari Majalah Pusara, Majalah Sinus (Siswa Nusantara) untuk SMP dan SMA, Majalah Kerabat
(majalah paguyuban trah HaBa), Koran Kompas, dan Majalah Sinar Harapan. Ki Kusworo menjelaskan bahwa beliau baru saja mendapat telfon dari Jakarta yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk Majalah Pusara. Beliau menegaskan kalau pengucapan kata “pusara” itu bukan dibaca seperti dalam Bahasa Indonesia pada umumnya.
“Pusara merupakan Bahasa Jawa yang berarti suk pemersatu lidi-lidi agar dapat tergabung menjadi satu kesatuan maka membacanya bukan “pusara” tapi “pusoro”, sebab kalau dibaca pusara ini bermakna batu nisan. Sama halnya dengan pembacaan Dewantara yang dibaca “Dewantoro”. Jelasnya
Dalam pembahasannya ki Kusworo juga menyinggung tentang hal yang biasanya harus dilakukan menurut ki Hajar. Seseorang awalnya harus dipaksa dalam melakukan sesuatu, kemudian dari dipaksa ini menjadikannya terpaksa, selanjutnya menjadi terbiasa dan puncaknya adalah menjadi luar biasa. Ternyata melakukan sesuatu yang awalnya dipaksakan adalah hal yang manusiawi ya sobat, benar juga ketika kita bermalas-malasan dan kemudian ada doa yang berbunyi “Allohuma paksakeun” hihihi … jangan takut untuk memulai dan memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang positif yaa…. Dalam proses pembelajaran juga ki Hajar menggunakan strategi “TRIKON”.
Dulu ki Hajar pernah menuntut ilmu di negeri Belanda, yang tentu pembelajarannya sedikit berbeda dari karakter bangsa Indonesia, untuk itu ki Hajar berusaha menyaringnya untuk kemudian dapat diajarkan di Indonesia. Strateg Trikon ini meliputi konvergen, konsentris, dan kontinuitas. Konvergen maksudnya agar mutu pendidikan di Indonesia bisa maju setara dengan pendidikan yang ada di barat. Konsentris berarti ilmu itu harus menanamkan lokal wisdom yang menonjolkan karakter keindonesiaan agar terpatri disetiap jiwa pemudanya. Kontinuitas maksdunya adalah bahwa pendidikan harus berjalan terus-menerus sebagai sebuah proses yang simultan.
Pembicara yang kedua merupakan prof. Cahyo, beliau menambahkan bahwa selain ki Hajar merupakan seorang tokoh yang berperan dalam pendidikan di Indonesia, beliau seorang jurnalis dan juga merupakan tokoh dibalik terbentuknya jurnalisme di Indonesia. Ini dibuktikan dengan beliau mendirikan Majalah Pusara dan mencetaknya secara independen, mengingat zaman dulu mesin cetak sangatlah langka. Majalah ini tersebar di beberapa tempat di Indonesia.
Pembicara ketiga yaitu ki Priyo Dwiarso, beliau juga merupakan dewan majelis luhur Taman Siswa dan jurnalis Majalah Pusara. Selain menjadi jurnalis beliau juga berperan sebagai pencetak, pengumpul dana dan memasarkan Majalah Pusara terutama ke rektor-rektor universitas. Dalam pembahsannya ki Priyo memaparkan tentang arti literasi. Dahulu saat pertamakali pada zaman ki Hajar, baru ada istilah jurnalistik yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis dan istilah bibliotik yang berarti melihat di perpus. Sekarang istilah tersebut dikenal dengan istilah literasi, literasi berasal dari Bahasa Inggris “literacy” yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tulisan. Literasi sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu literasi aktif dan literasi pasif. Literasi aktif berarti menjadikan diri kita menjadi subjek atau pelaku literasi contohnya aktif menulis, aktif berdiskusi dan mengadakan diskusi. Literasi pasif berarti literasi yang menjadikan diri kita sebagai pengamat seperti sebagai pembaca tanpa adanya kegiatan mengkritik atau berdiskusi.
“Banyak orang menjadi korban dari berita hoax karena banyak di zaman sekarang yang hanya menjadi literasi pasif. Seandainya masyarakat mau berperan sebagai literasi aktif dan literasi pasif maka tentu mereka akan terlatih untuk bisa membedakan berita yang objektif dan yang tidak.” Terang ki Priyo.
Dalam suasana kekeluargaan diskusi ini diakhiri dengan bercengkrama dan makan bersama. Beliau saling melontarkan kalimat-kalimat sarkasm yang memicu gelak tawa. Inilah hal yang beliau-beliau lakukan agar tetap awet muda dan tentu tujuan lainnya adalah untuk saling mengingatkan tanpa adanya kekakuan.
Sebagai tambahan ki Priyo Dwiharso merupakan saksi mata atas berjalannya pendidikan yang dijalankan oleh ki Hajar Dewantara kala ki Priyo masih kecil dan remaja. Dari kesahajaan ki Priyo bisa tergambar betapa ki Hajar dulu merupakan sosok panutan masyarakat. Ki Hajar diceritakan sebagai yang tak mudah termakan isu terutama yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda yang kerap ingin memecah tokoh masyarakat sekitar dan juga masyarakat awam. Beliau sangat teliti, berpengetahuan dalam dan waskito.
Ki Priyo bercerita kala itu beliau disuruh oleh ibunya ke warung, dalam perjalanannya pulang beliau menemukan bungkusan seperti bom dan ada semacam jam waktu di dekatnya namun jamnya tidak jalan. Sesampainya di rumah beliau menceritakan kepada ayahnya kalau beliau menemukan seperti sebuah bom di jalan. Akhrinya ayah ki Priyo, ki Priyo dan ki Hajar datang langsung ke tempat bom tersebut. Di bom tersebut bertuliskan ancaman untuk ki Hajar dan gambar palu arit, kemudian pihak Belanda pun datang.
“Lihatlah PKI ingin menyerangmu.” Seorang Londo mengatakan kepada ki Hajar
“Wah saya tahu ini bukan orang PKI atau orang Indonesia yang melakukan ini, lihat saja gambar aritnya kebalik. Seorang PKI betulan tak akan menggambarnya dengan terbalik.” Jelas ki Hajar



Untuk yang ingin ikut diskusi mben Selasa di Museum Kirti Griya stay tune dan follow IGnya @museumdewantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar