Metode Sariswara di Lingkungan Sekolah dan di Era 4.0
Selulus saya menyelesaikan S-1 di
Cimahi, saya menyambangi Kota Pendidikan, Yogyakarta. Saya merupakan lulusan
S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, dimana saya nantinya akan terjun menjadi seorang
pengajar. Setibanya di Yogyakarta, saudara kembar saya mengajak untuk
berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya. Beruntung karena Museum tersebut
merupakan rumah milik ki Hajar Dewantara yang merkam ruang dan jejak ki Hajar
Dewantara semasa hidupnya. Ki Hajar Dewantara yang kita kenal sebagai Bapak
Pendidikan Indonesia yang merupakan salah satu tokoh perpengaruh bagi
kemerdekaan di Indonesia. Beliau berkiprah di tiga bidang sekaligus yaitu di
bidang pendidikan, kebudayaan dan politik. Banyak tulisan beliau membahas dan
mengkritisi mengenai tiga topik tersebut, bahkan tulisan-tulisan beliau di
berbagai media masa dan buku kini telah dikumpulkan dan dijadikan buku.
Kunjungan ke Museum Dewantara sangat berkesan bagi saya. Kegiatan saya di Museum Dewantara saat itu yaitu dapat membaca buku di perpustakaan museum, menghadiri diskusi Selasa Wage atau menonton pertunjukan di pendapa. Hal menarik saat itu saya ketahui saat membaca buku diperpus tanpa sengaja saya mendengar suara anak menyanyikan lagu tembang dolanan anak dan diiringi alunan gamelan. Saya mencari sumber suara tersebut yang ternyata berada di Pendapa Ibu Pawiyatan Tamansiswa, dan yang membuat takjub suara tersebut merupakan suara
live anak-anak yang sedang berlatih untuk pementasan Sariswara Langen Carita yang juga diiringi alunan gamelan.Saat itu saya sangat tertarik
untuk mempelari lebih lanjut mengenai metode sariswara. Benak saya berbicara
dan menginginkan untuk mengajar di Tamansiswa dan berharap saat PPG nanti saya dapat
prakek mengajar di Ibu Pawiyatan namun ternyata sekolah PPL PPG saya sudah
ditentukan oleh kampus. Saya tidak patah semangat, saya masih terus mengikuti dan
mengamati Tamansiswa Ibu Pawiyatan di pementasan-pementasan Sariswara Langen
Carita. Sayapun mulai mencari tahu mengenai Metode Sariswara.
Metode Sariswara merupakan
metode yang digunakan oleh ki Hajar dalam mendidik anak-anak di sekolah. Metode
ini menggunakan seni dan sastra dalam proses belajar mengajar sebagai sarana
penghalus akal budi manusia. Metode sariswara juga bertujuan mempertebal watak
baik manusia. Kehidupan manusia secara alamiah dan secara kodrat sangatlah
dekat dengan seni dan sastra. Diharapkan Metode Sariswara dapat membantu membangun
jiwa anak menjadi pribadi berbudi pekerti luhur dan berbudaya. Lawan Sastra
Ngesti Mulya merupakan jargon dari Metode Sariswara yang artinya dengan sastra
hidup akan menjadi mulia. Sastra menjadi salah satu penanda kemajuan peradaban dan
ciri khas suatu bangsa. Sudah sepatutnya kita mengapresiasi karya sastrawan lokal
baik yang disadur dari sastra tradisi klasik maupun dari sastra tradisi modern.
Sastra Nusantarapun termasuk sangat kaya dan lengkap yang bisa dibedakan menjadi
sastra lisan maupun sastra tulis. Sastra ini tentunya dapat digali sebagai bahan
metode pembelajaran siswa dalam balutan Metode Sariswara.
Sastra lisan merupakan sastra tak
benda yang dapat berupa dongeng, legenda, fabel, cerita wayang, lagu, pantun,
teka-teki, dll. Sastra lisan biasanya disajikan dan dituturkan dari mulut ke
mulut yang memungkinkan dari satu pencerita ke pencerita yang lain bisa menceritakan
detail yang berbeda walaupun jika ditarik kesimpulan akan menghasilkan intisari
yang sama. Sastra lisan dapat menumbuhkan kreatifitas penciptaan, karena detail
cerita atau detail Bahasa dan sastra yang disajikan dapat ditentukan oleh
pencerita itu sendiri. Sastra lisan yang sudah mulai luntur di nusantara dapat
dihidupkan kembali sebagai jalan pendidikan dan jalan budaya. Saat ini sastra
lisan dapat disajikan dengan berbagai cara, baik menggunakan wayang media
seperti boneka wayang, alunan music tradisional, tembang maupun tanpa wayang
bagi pelantun dongeng, pantun, puisi, geguritan, macapat, syair, gurindam dll.
Sastra lisan dapat menyajikan dan mengasah penghayatan emosional, intonasi
nada, ekspresi dan juga kemampuan komunikasi antara pencerita dengan audien.
Selanjutnya, sastra tulis
merupakan sastra yang sudah tersaji ke dalam bentuk tulisan. Karya sastra tulis
cenderung lebih mudah ditemui karena berbentuk arsip tulisan. Sastra tulis di
era modern seperti sekarang banyak dipublikasikan dalam media cetak maupun
media digital, sehingga dapat diakses dengan mudah. Istilah sastra sendiri
masih menjadi polemik dari segi arti, penulis di sini lebih mengartikan sastra
yang dibagi menjadi dua macam yaitu sastra fiksi dan sastra non fiksi.
Sariswara menggunakan berbagai
macam karya sastra seperti lagu, tembang dolanan, permainan tradisional, tari,
olahraga tradisional, puisi, geguritan, macapat, pantun, dongeng, cerita
sejarah yang disadur dari kekayaan sastra rakyat lokal sentempat, sehingga
metode yang dibawakan dekat dengan peserta didik, dapat menumbuhkan cirikhas kepribadian
dan kebudayaan anak didik. Sariswara juga memungkinkan anak dari suatu daerah
mempelajari sastra dari daerah lain sebagai bentuk pengentahuan Nusantara yang
akhirnya akan melahirkan dan memupuk sikap Bhineka Tunggal Ika.
Sayangnya Metode Sariswara mulai
tenggelam, mungkin karena pendidikan Indonesia sempat mengadopsi banyak metode
dari berbagai ahli di dunia. Namun perlu di ketahui, saat ki Hajar diasingkan
di negeri Belanda beliau aktif mengikuti pertemuan dengan tokoh pendidikan
berpengaruh di dunia seperti Montesori dan juga Federich Wilhelm. Pertemuan
tersebut merupakan panel diskusi dan sesi sharing dalam rangka
mengembangkan metode pendidikan di dunia. Dapat dilihat dari hasil pertemuan
tersebut, Montesori mengadopsi beberapa gagasan ki Hajar mengenai pendidikan
dan diterapkan di metode pembelajaran Montesori. Mungkin Bapak/Ibu sekalian
baru menyadari ketika membaca artikel ini. Harapan saya ketika Bapak/Ibu
membaca artikel ini, Bapak/Ibu dapat terilhami dari Metode Sariswara dan dapat
menerapkan Metode Sariswara di lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga.
Era digital 4.0 dan pandemi
Covid-19 mendorong para pendidik untuk berinovasi, menggunakan gawai dalam melakukan
kegiatan belajar-mengajar. Tak terlepas dari Metode Sariswara Tamansiswa, metode
ini memungkinkan untuk dikolaborasi dengan akun berbasis teknologi seperti
Youtube, Google Meet, Zoom, Whatsapp, Instagram, dll. Museum Dewantara bekerjasama
dengan Balai Pelestari Nilai Budaya DIY dari bulan Agustus-Oktober 2021 telah mengadakan
lokakarya Pamong Pelopor Sariswara (PPS) yang menjembatani dan menjadi wadah
bagi para pendidik baik pendidik dilingkungan formal maupun pendidik dari
lingkungan non-formal. Peserta PPS dibekali banyak pengetahuan dan mengasah Metode
Sariswara dari pakar Sariswara dan praktisi Sariswara. Peserta PPS-pun setiap
minggunya diberi tugas untuk membuat produk rancangan pembelajaran berbasis Sariswara.
Pembelajaran Sariswara dapat
dikolaborasi menggunakan media akun berbasis teknologi sebagai sarana peserta
didik mengekspresikan sastra, misalkan membaca puisi, menyanyikan lagu, tari
tradisional, tari klasik, tari tradisional modern, berbalas pantun maupun
penyajian cerita berantai. Dengan adanya akun berbasis teknologi, guru dapat mengunggah
hasil pembelajaran metode Sariswara ke akun Youtube atau Instagram ini dapat
mempermudah para peserta didik, orang tua dan masyarakat turut mengapresiasi,
memberi dukungan moril maupun materiil peserta didik dalam proses belajar
menggunakan metode Sariswara. Penggunaan akun berbasis teknologi dapat juga
dijadikan alat pembelajaran pengumpulan hasil belajar siswa, sehingga dengan
adanya pandemi metode ini tetap bisa berjalan dengan semestinya. Era pandemi seperti
sekarang masih ada peluang untuk mencetak generasi berbudaya dan berbudi
pekerti luhur.
Langkah membuat Karya
Tulisan ala Prof Imam ITS
1. Menentukan
judul,
2. Membuat
delapan kerangka sub judul,
3. Mengembangkan
setiap sub judul menjadi empat kajian topik,
4. Mengembangkan
setiap topik dengan masing-masing berisi tujuh kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar