bismillah

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Rabu, 01 Agustus 2018

Sastra Jawa Berkaitan dengan Ilmu Pedalangan (Empu, Awicarita, Begawan, Dhalang, Kawi, Kawi Miring, dan Sekar Ageng)

Sering nonton pagelaran wayang kulit dan sering terpesona dengan cara dalangnya membawakan cerita dan penokohan wayangnya, membawakan suluknya, mengantarkan cerita janturannya, gedingnya, sekarnya, sampai bentuk wayangnya. Aku sering banget nanya ke orang-orang yang aku temui saat nonton wayang. Beberapa orang menyodorkanku buku tentang wayang, mengajakku menghadiri workshop tentang wayang sampai main ke sanggar wayangnya. Heee....

Kali ini aku nemuin buku Ensiklopedia Sastra Jawa terbitan Kemendikbud dan Badan Pengembangan dan pembinaan Bahasa Balai Bahasa Provinsi DIY
di perpustakaan sekolah SMP Muhamadiyah 8 Yogyakarta saat hari pertama aku praktek lapangan. hihihi..... langsung berbinar-binar mataku saat melihat buku ini.... Langsung aku baca dan sering aku bawa pulang,, isinya membahas banyak tentang ilmu Sastra Jawa seperti Serat, Kakawin, Babad, Pedalangan dll....yaa aku mbacanya loncat-loncat si karena banyak yang membahas tentang penulis Sastra Jawa yang berpengaruh dari masa sebelum Indonesia merdeka sampai setelah Indonesia merdeka. hoho....

Banyak banget yang menarik perhatianku dari buku ini, tapi di tulisan ini aku hanya ngutip beberapa judul yang sekiranya bisa sebagai referensi untuk penulisan buku yang akan kami buat yaitu tentang seri wayang khusunya tentang dalang besok. Nabung-nabung belajar tentang Jawa dan Pedalangan sebelum projeknya bener-bener berjalan.

Dari buku Ensiklopedia Sastra Jawa (2010) halaman 162 terdapat judul empu

Empu (162)

Ada beberapa pengertian untuk istilah empu, yaitu (1) guru, pandai besi, (2) tuan, orang yang terhormat, atau yang memiliki nilai lebih, pujangga, dan (3) umbi kunyit, kencur besar. Dalam kaitannya dengan sastra Jawa, arti terdekat empu adalah "pujangga" atau pengarang, yaitu orang yang pandai atau memiliki nilai lebih dalam karang-mengarang. Bahkan, seorang yang bergelar "empu" adalah seseorang yang telah mampu menciptakan maha karya atau karya agung selama pengabdiannya di bidang seni yang ditekuni. Termasuk dalam pengertian seni di sini ialah seni sastra, karawitan, arsitektur, dan pembuatan keris pusaka. Mereka yang dinilai berprestasi dalam bidang-bidang tersebut mendapat gelar resmi sebagai "empu" dari kerajaan. Dalam masyarakat umum istilah "empu" dikenakan sebagai pembuatan keris pusaka, seperti sebutan Empu Gandring, Empu Supa, dan sebagainya.

Namun, dalam istilah sastra Jawa modern, baik istilah empu maupun istilah pujangga tidak dikenal untuk menyebut pengarang. Jadi, empu dan pujangga adalah istilah-istilah khusus untuk sebutan pengarang pada kelompok pengarang pada periode-periode tertentu. Empu, misalnya, istilah untuk pengarang di zaman klasik, atau pada zaman pra-Islam. Orang mengenal nama-nama seperti empu Sedah dan Empu Panuluh untuk sebutan pengarang Kitab Baratayudha, Empu Prapanca sebagai pengarang Kitab Negarakertagama, Emu tantular yang mengarang Arjunawiwaha.

Seseorang disebut empu dan atau pujangga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain berikut ini.

  1. Paramengsastra, ahli dalam bahasa dan sastra;
  2. Paramengkawi, yaitu ahli dalam penciptaan atau mengarang;
  3. Awicarita, yaitu pandai mendongeng atau bercerita yang dapat menarik perhatian pendengarnya;
  4. Mardawa lagu, yaitu pandai dalam hal gending;
  5. Mardawa basa, yaitu ahli dalam mengolah bahasa;
  6. Mandraguna, yaitu ahli dalam hal kesenian;
  7. Nawungkridha, yaitu halus perasaan sehingga mampu menangkap kehendak orang lain, dan
  8. Sambegana, yaitu berjiwa luhur.
Meskipun pada umumnya sebutan atau gelar "empu" hanya diberikan kepada ahli sastra, seni, dan keris, gelar itu juga diberikan kepada seorang ahli kebudayaan Jawa, Prof. Dr. Poerbatjaraka, di masa hidupnya.

Awicarita (46)

Dalam istilah Jawa dikenal istilah awicarita. Awicarita adalah seseroang yang ahli mendongeng atau bercerita yang membuat pembaca merasa terharu. Istilah awicarita setaraf dengan paramengsastra (ahli di bidang bahasa dan sastra), paramengkawi (ahli dibidang karang-mengarang), mardawa lagu (ahli di bidang tembang dan lagu, mardawa berarti halus), mardawa basa (ahli di bidang merangkai bahasa yang mengharukan atau menyebabkan rasa haru di hati, yang menyebabkan rasa gembira, rasa kasih, dan sebagainya), mandraguna (sangat terampil dalam hal kemampuan dan pengetahuan), nawungkrida (halus perasaan sampai bisa menanggapi maksud hati orang lain, dan sambegana (utama sekal hidupnya). Pujangga yang bergelar awicarita memiliki beberapa kelebihan, baik lahir maupun batin. Seorang pujangga yang memiliki kelebihan batin berarti dapat mendengar akacacabda 'suara langit'. Yang dimaksudkan suara langit atau bisikan atau ilham yang datang dari langit atau dalam isitilah sastra Jawa disebut Jangka 'ramalan'.

Dalam perkembangannya, istilah awicarita juga digunakan dalam istilah pedalangan. Dalam istilah pedalangan, awicarita digunakan sebagai penyebutan bagi dalang yang mampu menguasai seluk-beluk wayang dan segala kelengkapannya. Dalang dapat disebut awicarita apabila dia memahami dengan benar semua cerita yang terkandung dalam sebuah lakon yang sedang ditunjukannya. Disamping itu, ia mengetahui semua boneka wayang kulit beserta ricikan-nya, yaitu berbagai peralatan dan perlengkapannya yang diperlukan secara mutlak untuk menentukan suatu lakon. Untuk menjadi awicarita, dalang harus dapat mengetahui dua belas macam keahlian.

Kedua belas hal pokok itu adalah
(1) antawacana berarti 'dialog'; maksudnya dalam mengemukakan antawacana, dalang harus dapat memberi perbedaan warna serta volume suara dari masing-masing tokoh wayang yang dilakonkan. Misalnya: volume suara Prabu baladewa sangat berlainan dengan volume suara Prabu Kresna ataupun Prabu Suyudana
(2) rengep, dalam papelaran wayang kulit, dalang harus berusaha agar penampilannya tidak menjemukan
 (3) enges, maksudnya sang dalang ditutut untuk bisa membedakan dialog-dialog antara tokoh-tokoh wayang yang telah bersuami atau beristri dengan tokoh-tokoh wayang yang sedang bertunangan atupun berpacaran;
(4) tutug, dalam pagelaran wayang, dalang tidak dibenarkan memperpendek dialog; 
(5) pandai dalam sabetan, dalam hal ini, dalang dituntu kemahirannya dalam memainkan wayang, baik dalam adegan tari maupun adegan perkelahian (perang) dan membuat wayang tersebut seolah-olah hidup dalam pentas;
(6) pandai melawak, artinya selain memainkan wayang, dalang harus pandai melawak dengan banyolan-banyolan yang segar yang tidak menjemukan;
(7) pandai mengarang lagu, dalam pagelaran, sang dalang harus menguasai lagu-lagu untuk suatu adegan;
(8) pandai merangkai bahasa, sang dalang dituntut pula kepandaiannya dalam menggunakan tata bahasa untuk tokoh-tokoh wayangnya. Misalnya penggunaan wayang untuk dewa, pendeta, raja, raksasa, dan ksatria karena tokoh tersebut mempunyai ragam bahasa yang berlainan;
(9) faham kata-kata kawi, maksdunya, sang dalang harus menguasai kata-kata kawi dalam penggamaran suasana keraton dari tiap kerajaan;  
(10) paham parameng kawi, maksudnya sang dalang harus  memahami bahasa kawi dan dasanama 'sinonim' dari kata-kata kawi yang digunakan untuk penjelasan nama-nama lain dari tokoh wayang tersebut;  
(11) paham parameng sastra, maksudnya, sang dalang harus mengetahui pakem-pakem pedalangan yang berhubungan dengan suluk dan greget saut.

Begawan (61)
Begawan adalah gelar bagi pertapa dan guru dalam dunia pewayangan. Begawan Drona, misalanya, adalah guru besar di Kerajaan Astina yang mengajarkan ilmunya pada keluarga Kurawa dan Pandawa. Begawan Bagaspati, waulaupun hanya mempunyai seorang murid bernama Narasoma - menantunya sendiri, tetapi ia seorang pertapa yang tekun. Seorang begawan tidak harus berdarah brahmana. Misalnya, ketika Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, ia memakai nama Begawan Ciptoning atau Begawan Mintaraga. Bahkan Anoman, yang berwujud kera pun di hari tuanya dikenal dengan sebutan Begawan atau Resi Mayangkara.

Dalam pewayangan sebutan serupa begawan adalah resi atau pandita. Hampir semua begawan dalam pewayangan merupakan manusia sakti. Kalau seorang begawan mengucapkan kutukan, maka kutukan itu akan terbukti. Misalnya, Begwan Maetreya yang mengutuk Prabu Anom Duryudana, kelak dalam Baratayuda paha kirinya akan lumpuh dihantam gada lawannya. Begawan Kimindama yang mengutuk Prabu Pandu Dewanata, akan meninggal seketika bilamana ia memadu kasih dengan istrinya. Begawan Gotama yang mengutuk Dewi Indradi, istrinya, menjadi tugu batu. Bahkan, Bewawan Animanda yang mengutuk dewa, yaitu Batara Darma, juga terbukti.

Kesaktian seorang begawan wring kah tidak terbatas pada soal kutuk mengutuk. Begawan atau Resi Jamadagni bisa tahu perbuatan salah istrinya walaupun ia tidak menyaksikannya. Begawan Wisrawa dalam usia tuanya masih sanggup mengalahkan dan membunuh Jambu Mangli, raksasa sakti dari Alengka. Begawan Sapwani sanggup menciptakan seribu manusia jadi-jadian yang mirip dengan Jayadarta, anak angkat kesayangannya.

Dalam pewayangan ada berbagai istilah khusus untuk menyebut anak buah seorang begawan. Semua istilah itu berkaitan dengan tugas-tugas dalam suatu pertapaan.

Menurut rincian Kalawarti Serat Panjangmas, yang dicatat oleh Ki Panut Darmoko, dalang terkenal asal Nganjuk, Jawa Timur, tataran dan istilah tentang jabatan di pertapaan dalam Wayang Kulit Purwa adalah:

  1. Wiku, adalh pandhita yang tinggal dan membangun pertapaan di gunung.
  2. Pandita, bilamana pertapa itu tinggal di kota, dekat dengan kraton.
  3. Resi, adalah pertapa yang bilamana perlu masih mampu dan sanggup berperang.
  4. Hajar, adalah pandhita yang mengajarkan kepandaian.
  5. Dwija, adalah pandhita yang mengajarkan ilmu lahiriah dan batiniah. Dalam hal ini sebutan Dwija lebih berarti gelar kehormatan.
  6. Dwijawara, adalah pandhita yang mengajarkan tentang ilmu kasidan, tanpa memilih murid, siapa saja boleh berguru.
  7. Yogi, adalah pandhita yang menuntun ke arah kebahagiaan.
  8. Muni, adalah pandhita yang memberi nasihat.
  9. Suyati, adalah pandhita yang mengajar tentang penembahan.
  10. Begawan, adalah pandhita bekas raja, atau raja yang sudah lengser keprabon.
  11. Wipra, adalah pandhita pujangga. Selain mengajar langsung kepada para muridnya, seorang panditha juga menulis ajarannya untuk dibaca siapa saja.
  12. Danghyang,  adalah pandhita yang ahli meramal. Sebutan Danghyang lebih merupakan gelar kehormatan.
  13. Brahmana, adalah pandhita yang berasal dari tanah sebrang.
  14. Widayaka, adalah pandhita yang keramat kata-katanya sering kali menjadi kenyataan, sehingga ia ditakuti orang.
  15. Dayaka, adalah pandhita yang sakti.
  16. Wasista, adalah pandhita yang awas dan waspada.
  17. Brahmacari, adalah pandhita yang wadad, tidak pernah menyentuh wanita.


Dhalang (120)

Istilah dhalang tersipul dari kata weda dan wulang atau mulang. Weda ialah kitab suci orang beragama Hindu yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta. Di dalam Weda termuat peraturan tentang hidup dan kehidupan manusia di tengah masyarakat ketika berinteraksi dengan sesama manusi amenuju kesempuranaan (setelah eninggal dunia). Wulang berarti ajaran atau petuah. Mulang  berarti memberi pelajaran.  Berdasarkan hal itu, dhalang dapat digambarkan sebagai seorang yang mempunyai tugas suci untuk memberi pelajaran, wejangan, uraian atau tafsiran tentang isi kitab suci Weda beserta maknanya kepada khalayak ramai. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu, dhalang tidak mengharapkan upah dalam bentuk apa pun atas karyanya itu. Hal itu diungkapkan dalam bahasa sepi ing pamrih, rame ing gawe 'tiada mengharap imbalan, sungguh-sungguh bekerja'. Segala pikiran dan tenaga dhalang hanya dipusatkan kepada tugasnya tersebut, yaitu menanamkan benih kesempurnaan dan keluhura budi pekerti pada orang-orang yang mengikuti jejaknya melalui pertunjukan cerita wayang kulitnya. Seorang dhalang mempunyai kedudukan sederajat dengan guru yang luhur dan luas pengetahuannya. Kini, pekerjaan mendalang merupakan suatu mata pencaharian, bukan semata-mata suatu bentuk pengabdian seperti zaman dahulu.

Ada juga yang menyebutkan bahwa dhalang adalah utusan Gusti 'Tuhan'. Dalam kontes ini, dhalang diibaratkan sebagai penjelmaan atau pengejawantahan Sang Pramana, atau utusan Hyang Maha Agung. Di dalam tataseni pewayangan, dhalang berkuasa penuh atas wayang-wayangnya. Dialah yang berkuasa membunuh, menghidupkan, dan menamatkan suatu cerita. Oleh karena itu, dhalang dinyatakan sebagai lambang Rasa Sejati. Ia menguasai gerak gerik kehidupan (wayang). Dhalang menerima bisikan Sang Hyang Suksma untuk meniupkan nafas kehidupan kepada wayang-wayangan.

Ilmu pedhalangan meliputi banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari beserta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, segala seginya sukar dikuasai oleh seorang diri. Dengan demikian muncullah beberapa ragam jenis dhalang, yaitu dhalang (se)-jati, dhalang purba, dhalang wasesa, dhalang guna, dan dhalang wikalpa.

Pada umumnya menjadi dhalang merupakan suatu bawaan, bersifat turun-temurun, dari kakek ke bapak, dari bapak ke anaknya. Pendidikan untuk menjadi dhalang supaya dapat supaya mencapai "tingkat dhalang" dilakukan secara sambil lalu. Dalam arti kata, sang anak turut serta pada tiap pertunjukkan wayang kulit yang diselenggarakan oleh ayahnya atau oleh dhalang lainnya.

Pada zaman modern telah didirikan pula suatu "Sekolah pedhalangan", lengkap dengan berbagai mata-pelajarannya, misal Pamulang an Dhalang Habiranda Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Para siswa, setelah lulus dari ujiannya, endapat ijazah. Dengan ijazah itu mereka berhak menamakan dirinya "dhalang", dan juga melangsungkan pertunjukkan wayang kulit atas dasar menerima upah. Pada umumnya jabatan dhalang itu dipegang oleh seorang laki-laki. Tetapi, dewasa ini kita mempunyai pula dhalang wanita.


Kawi (258)

Kawi Miring (259)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar