Kongres ASEAN Ko-mmunity Korner merupakan kongres yang diadakan di bawah naungan ASEAN dan pemerintah Korea Selatan. Kongres tersebut diikuti oleh perwakilan seniman dari sepuluh negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina (Philippines), Kamboja (Cambodia), dan juga perwakilan seniman dari Korea Selatan. Kongres ASEAN Ko-mmunity Korner merupakan bentuk perwujudan dari kerjasama fungsional antar negara ASEAN dan Korea Selatan yang mencangkup misi kebudayaan, penerangan, pendidikan, lingkungan hidup dan kepemudaan.
Pembukaan Kongres ASEAN Ko-mmunity Korner pada tanggal 24 Agustus 2020 menjadi suatu tantangan dan hal yang berbeda dibandingkan pada Kongres ASEAN Ko-mmunity Korner yang diadakan pada empat tahun terakhir dimulai sejak 2015. Kongres pada tahun 2020 kali ini harus beradaptasi dan beralih ke arah online dikarenakan adanya pandemi global Covid-19, terlebih belum ditemukannya vaksin untuk menangkal virus ini. Sehingga belum memungkinkan untuk mengadakan pertemuan dan perjalanan antar negara. Kongres yang diadakan kali ini diadakan melalui sesi diskusi panel yang ditayangkan via live di zoom, facebook dan youtube.
Pembukaan Kongres tersebut dihadiri oleh Dr Yang Mee Eng, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation sebagai keynote speaker, Jodi Thiele from Absolute Singapore sebagai moderator dan juga dihadiri oleh perwakilan seniman ASEAN Korea seperti Dessa Quessada-Palm (Pendidikan/Pemuda Filipina berdasarkan rekomendasi dari the International Theatre Institute), Paul Phothyzan (Ketahanan dan HAM Laos berdasarkan rekomendasi dari Singapore Art Museum), Lee Kyung Sung (Theatre Korea), Kamini Ramanchandran (Pendongeng Singapura), Alena Murang (Musisi Tradisional Malaysia rekomendasi dari Departemen Warisan non Bendawi UNESCO), Francis Sollano Tan (Fashion/Daur Ulang Filipina).
Dr Yang mewakili Yayasan ASEAN memberikan catatan akan tantangan yang dihadapi akibat Pandemi Covid-19. “Kongres yang diadakan online seperti ini adalah sebagai contoh suatu kebutuhan dalam beradaptasi dan tetap berlanjut.” ungkapnya. Beliau juga turut bangga akan fleksibilitas ketahanan seniman antar negara yang terus menjalankan projek ini sebagai sebuah perjanjian untuk tetap bersatu dalam perbedaan khususnya untuk negara ASEAN Korea.
Di acara inagurasi ini para seniman yang hadir menceritakan bagaimana mereka harus bertahan dan beradaptasi di masa pandemi. Seperti halnya Francis yang harus membuat inovasi karya daur ulangnya, misalnya merubah sampah menjadi fashion glass yang menarik dan juga melakukan siaran-siaran radio seperti yang diungkapkan Dessa. Menurut Dessa sisi positif dari adanya pandemi ini adalah seniman bisa menyiapkan karya mereka menjadi lebih matang, selain itu mereka juga mengadakan webinar atau seminar berbasis online yang bisa diikuti oleh seniman yang terisolasi di suatu pulau sekalipun. Dessa bersama Akademi Teater Filipina telah mengadakan sembilan minggu sesi webinar selama pandemi Covid-19 berlangsung. Menurutnya Fancis juga bisa memanfaatkan momen ini untuk menceritakan pengalamannya mejadi designer fashion daur ulang.
Kyung Sung membahas label komunitas seni yang seperti apa yang diangkat dalam tema ini, mengingat banyaknya seniman yang bergerak di berbagai bidang seperti teater, musik, pendongeng, dan designer yang juga mengusung berbagai tema seperti kepemudaan, politik, lingkungan, kedudayaan, dll.
Diskusi berlanjut dengan pembahasan
mengenai keberadaan seniman tradisional diantara seniman-seniman kontemporer. Berkaitan
dengan bentuk seni tradisional, Alena menanyakan arti dari tradisional itu
sendiri. Menanyakan instrumen musik sapé yang ia mainkan menjadi berlabel “tradisional”,
kenapa bukan gitar yang juga merupakan intrumen musik yang klasik. Dessa menanggapi
bahwa pasti ada spesifikasi berdasarkan kebudayaan tertentu, yang bisa jadi
tolak ukur berdasarkan beberapa penelitian dan juga pengamatan terhadap
komunitas tertentu untuk mendapatkan pandangan tradisional tersebut. Kamini
menyetujui dengan menggaris bawahi pentingnya pengetahuan dan mencari tahu
kenapa sebuah seni tradisional tersebut menjadi konsentrasi.
Terlepas dari berbagai bentuk dan strategi seni, semua panelis sangat antusias dengan diskusi mereka dan mereka sangat yakin bahwa dengan adanya keefektifan penggunaan komunitas dalam mewujudkan persatuan dalam keberagaman seperti yang Dr Yang tekankan. Semua seniman mengapresiasi kesempatan ini untuk bertukar pikiran dengan kolega di seluruh wilayah, dan menyatakan minat untuk melanjutkan percakapan ini.
Dalam Kongres ASEAN Ko-mmunity Korner 24-27 Agustus 2020 telah diadakan satu sesi pembukaan dan juga enam sesi panel diskusi, untuk lebih lanjut berikut link Youtube yang diunggah melalui Artsolute Youtube Channel:
PEMBUKAAN KONGRES ASEAN KO-MMUNITY KORNER 2020
Part 1 How the Arts Community Will Look Like in 20's klik (https://www.youtube.com/watch?v=bEzaWnpsEgs)
Part 2 How the Arts Community Will Look Like in 20's klik (https://www.youtube.com/watch?v=THgSdqKyYzI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar