Dhalang (120)
Istilah dhalang tersimpul dari kata weda dan wulang atau mulang. Weda ialah kitab suci orang beragama Hindu yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta. Di dalam Weda termuat peraturan tentang hidup dan kehidupan manusia di tengah masyarakat ketika berinteraksi dengan sesama manusia menuju kesempuranaan (setelah meninggal dunia). Wulang berarti ajaran atau petuah. Mulang berarti memberi pelajaran. Berdasarkan hal itu, dhalang dapat digambarkan sebagai seorang yang mempunyai tugas suci untuk memberi pelajaran, wejangan, uraian atau tafsiran tentang isi kitab suci Weda beserta maknanya kepada khalayak ramai. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu, dhalang tidak mengharapkan upah dalam bentuk apa pun atas karyanya itu. Hal itu diungkapkan dalam bahasa sepi ing pamrih, rame ing gawe 'tiada mengharap imbalan, sungguh-sungguh bekerja'. Segala pikiran dan tenaga dhalang hanya dipusatkan kepada tugasnya tersebut, yaitu menanamkan benih kesempurnaan dan keluhuran budi pekerti pada orang-orang yang mengikuti jejaknya melalui pertunjukan cerita wayang kulitnya. Seorang dhalang mempunyai kedudukan sederajat dengan guru yang luhur dan luas pengetahuannya. Kini, pekerjaan mendalang merupakan suatu mata pencaharian, bukan semata-mata suatu bentuk pengabdian seperti zaman dahulu.
Ada juga yang menyebutkan bahwa dhalang adalah utusan Gusti 'Tuhan'. Dalam kontes ini, dhalang diibaratkan sebagai penjelmaan atau pengejawantahan Sang Pramana, atau utusan Hyang Maha Agung. Di dalam tataseni pewayangan, dhalang berkuasa penuh atas wayang-wayangnya. Dialah yang berkuasa membunuh, menghidupkan, dan menamatkan suatu cerita. Oleh karena itu, dhalang dinyatakan sebagai lambang Rasa Sejati. Ia menguasai gerak gerik kehidupan (wayang). Dhalang menerima bisikan Sang Hyang Suksma untuk meniupkan nafas kehidupan kepada wayang-wayangan.
Ilmu pedhalangan meliputi banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari beserta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, segala seginya sukar dikuasai oleh seorang diri. Dengan demikian muncullah beberapa ragam jenis dhalang, yaitu dhalang (se)-jati, dhalang purba, dhalang wasesa, dhalang guna, dan dhalang wikalpa.
Pada umumnya menjadi dhalang merupakan suatu bawaan, bersifat turun-temurun, dari kakek ke bapak, dari bapak ke anaknya. Pendidikan untuk menjadi dhalang supaya dapat supaya mencapai "tingkat dhalang" dilakukan secara sambil lalu. Dalam arti kata, sang anak turut serta pada tiap pertunjukkan wayang kulit yang diselenggarakan oleh ayahnya atau oleh dhalang lainnya.
Pada zaman modern telah didirikan pula suatu "Sekolah pedhalangan", lengkap dengan berbagai mata-pelajarannya, misal Pamulang an Dhalang Habiranda Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Para siswa, setelah lulus dari ujiannya, mendapat ijazah. Dengan ijazah itu mereka berhak menamakan dirinya "dhalang", dan juga melangsungkan pertunjukkan wayang kulit atas dasar menerima upah. Pada umumnya jabatan dhalang itu dipegang oleh seorang laki-laki. Tetapi, dewasa ini kita mempunyai pula dhalang wanita.
Istilah dhalang tersimpul dari kata weda dan wulang atau mulang. Weda ialah kitab suci orang beragama Hindu yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta. Di dalam Weda termuat peraturan tentang hidup dan kehidupan manusia di tengah masyarakat ketika berinteraksi dengan sesama manusia menuju kesempuranaan (setelah meninggal dunia). Wulang berarti ajaran atau petuah. Mulang berarti memberi pelajaran. Berdasarkan hal itu, dhalang dapat digambarkan sebagai seorang yang mempunyai tugas suci untuk memberi pelajaran, wejangan, uraian atau tafsiran tentang isi kitab suci Weda beserta maknanya kepada khalayak ramai. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu, dhalang tidak mengharapkan upah dalam bentuk apa pun atas karyanya itu. Hal itu diungkapkan dalam bahasa sepi ing pamrih, rame ing gawe 'tiada mengharap imbalan, sungguh-sungguh bekerja'. Segala pikiran dan tenaga dhalang hanya dipusatkan kepada tugasnya tersebut, yaitu menanamkan benih kesempurnaan dan keluhuran budi pekerti pada orang-orang yang mengikuti jejaknya melalui pertunjukan cerita wayang kulitnya. Seorang dhalang mempunyai kedudukan sederajat dengan guru yang luhur dan luas pengetahuannya. Kini, pekerjaan mendalang merupakan suatu mata pencaharian, bukan semata-mata suatu bentuk pengabdian seperti zaman dahulu.
Ada juga yang menyebutkan bahwa dhalang adalah utusan Gusti 'Tuhan'. Dalam kontes ini, dhalang diibaratkan sebagai penjelmaan atau pengejawantahan Sang Pramana, atau utusan Hyang Maha Agung. Di dalam tataseni pewayangan, dhalang berkuasa penuh atas wayang-wayangnya. Dialah yang berkuasa membunuh, menghidupkan, dan menamatkan suatu cerita. Oleh karena itu, dhalang dinyatakan sebagai lambang Rasa Sejati. Ia menguasai gerak gerik kehidupan (wayang). Dhalang menerima bisikan Sang Hyang Suksma untuk meniupkan nafas kehidupan kepada wayang-wayangan.
Ilmu pedhalangan meliputi banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari beserta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, segala seginya sukar dikuasai oleh seorang diri. Dengan demikian muncullah beberapa ragam jenis dhalang, yaitu dhalang (se)-jati, dhalang purba, dhalang wasesa, dhalang guna, dan dhalang wikalpa.
Pada umumnya menjadi dhalang merupakan suatu bawaan, bersifat turun-temurun, dari kakek ke bapak, dari bapak ke anaknya. Pendidikan untuk menjadi dhalang supaya dapat supaya mencapai "tingkat dhalang" dilakukan secara sambil lalu. Dalam arti kata, sang anak turut serta pada tiap pertunjukkan wayang kulit yang diselenggarakan oleh ayahnya atau oleh dhalang lainnya.
Pada zaman modern telah didirikan pula suatu "Sekolah pedhalangan", lengkap dengan berbagai mata-pelajarannya, misal Pamulang an Dhalang Habiranda Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Para siswa, setelah lulus dari ujiannya, mendapat ijazah. Dengan ijazah itu mereka berhak menamakan dirinya "dhalang", dan juga melangsungkan pertunjukkan wayang kulit atas dasar menerima upah. Pada umumnya jabatan dhalang itu dipegang oleh seorang laki-laki. Tetapi, dewasa ini kita mempunyai pula dhalang wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar