Wayang Kancil adalah wayang yang menyuguhkan cerita fabel. Wayang Kancil tergolong kedalam cerita fabel karena tokohnya merupakan wayang sato atau wayang hewan. Tokoh utama dalam wayang kancil yaitu si kancil dengan beberapa tokoh hewan pendukung seperti harimau, ular, kerbau, buaya, bangau, garuda, badak dan masih banyak lagi.
Dari tangan Mbah Ledjar Subroto, maestro wayang, Wayang Kancil diciptakan di Yogyakarta sebagai sarana pendidikan karakter bagi anak-anak. Mbah Ledjar merupakan seniman asal Wonosobo, beliau adalah sosok yang
menyayangi anak-anak, dalam cerita wayang kancil ada penokohan protagonis dan antagonis yang tentu bertentangan. Biasanya dalam cerita tersebut tokoh protagonislah yang akhirnya menang. Beliau berharap anak-anak dapat membedakan tokoh protagonis yang harus ditiru dan juga tokoh antagonis yang tidak baik ditiru, sehingga Wayang kancil bisa menjadi sarana pendidikan karakter yang dapat dengan mudah diserap oleh anak-anak khususnya.
Nilai karakter yang disampaikan dalam Wayang Kancil sebetulnya bukan hanya tentang membedakan sifat baik dan buruk. Manusia kadang lupa bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam, untuk itu Wayang Kancil juga sebetulnya menyampaikan misi tentang kelestarian alam, dan mengajak anak-anak untuk mengetahui dan mencintai binatang agar binatang tidak punah.
Wayang Kancil mementaskan cerita yang diangkat dari cerita rakyat masyarakat Melayu yang biasanya tertuang dalam serat Melayu dan juga cerita dari serat Jawa. Serat yang berasal dari Melayu ini ada yang berasal dari Sumatra Utara, sedangkan untuk serat Jawa biasanya diangkat dari serat gubahan Sunan Bonang. Serat-serat ini ditemukan oleh Mbah Ledjar di Leiden, Belanda.
Sepeninggalan Mbah Ledjar, 23 September 2017 lalu, Wayang Kancil berusaha untuk tetap dihidupkan. Mbah Ledjar mempunyai cucu bernama Ananto Wicaksono (Nanang) yang sekarang tinggal di Jepang. Beliau disebut-sebut sebagai pewaris dalang Wayang Kancil yang digeluti oleh Mbah Ledjar. Mbah Ledjar juga mempunyai beberapa murid di negara lain seperti Mbak Sarah L Bilby dari London British, Irene Ritchie dari Australia, dan seorang murid di Belanda. Mereka masih menggunakan Wayang Kancil di negara mereka masing-masing sebagai sarana penyampaian pesan yang berisikan nilai karakter, kelestarian lingkungan dan juga mengajak anak-anak untuk mencintai binatang agar tidak punah.
Upaya untuk menghidupkan Wayang Kancil sepeninggalan Mbah Ledjar juga masih banyak dilakukan, di Yogyakarta sendiri Balai Budaya Minomartani Ngaglik Sleman mengadakan pementasan Wayang Kancil Sebulan sekali dengan mengusung tema Tribute to Mbah Ledjar Subroto. Pementasan tersebut digelar selama sebelas bulan berturut-turut selama 2018 dengan membawakan lakon yang berbeda-beda. Tribute to Mbah Ledjar Subroto digelar oleh Balai Budaya Minomartani (klik untuk melihat profil) dan juga bekerja sama dengan Paguyuban Dalang dan Karawitan Wani Wirang dan juga beberapa sanggar karawitan seperti Sanggar Gangsa Kukilo. Bahkan menurut pengumuman pentas wayang bulanan Paguyuban Dalang Muda Sukrakasih di pendapa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY, Wayang Kancil mulai tahun ini (2018) mulai didaftarkan sebagai budaya Indonesia yang berasal dari Yogyakarta oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY.
Problem mulai muncul ketika orang Indonesia sebagai negara lahirnya Wayang Kancil jarang mengetahui keberadaan Wayang Kancil ini. Wayang Kancil justru dikenal di banyak negara asing dan mendapatkan banyak penghargaan di kancah internasional walaupun di kancah nasional Wayang Kancil juga memperoleh beberapa penghargaan.
Wayang Kancil mulai dihidupkan dan diperkenalkan ke anak-anak kecil di sekolah non formal. Lembaga pendidikan non formal seperti Sekolah Citaloka dan Wiloka yang berada di Yogyakarta mengusung kelas Wayang yang juga mengambil salah satu tema Wayang Kancil sebagai upaya penanaman pendidikan karakter kepada anak-anak sejak dini selain pengenalan terhadap hewan dan nama lingkungan abotik yang ada di alam.
Sekolah Citaloka (klik untuk melihat profil) sendiri adalah lembaga pendidikan non formal yang didirikan oleh Rouhaty Nur Hikmah seorang lulusan Ekonomi, istri dari salah satu dosen Design Interior ISI Yogyakarta bernama Gilda. Sekolah Citaloka mempunyai beberapa kelas seperti kelas yang berbau tentang lingkungan, budaya, kesehatan, dan salah satu kelasnya adalah kelas wayang Sekolah Wayang Citaloka (Swacita) (klik untuk melihat profil) untuk anak-anak. Kelas Wayang ini diampu oleh Mas Taufiq Hermawan jebolan jurusan Kriya Kulit ISI Yogyakarta. Dalam Kelas Wayang, Citaloka tak hanya mengusung tema wayang purwa tetapi juga mengenalkan wayang kancil untuk anak didiknya. Anak-anak diajarkan cara menggambar wayang, mewarnai wayang, mengenal nama-nama dan karakter setiap tokoh wayang dan juga dilatih untuk mementaskan wayang tersebut.
Wiloka (klik untuk melihat profil) mengusung tema yang hampir sama dengan Sekolah Citaloka, hanya saja ada spesialisasi dari setiap kelas yang diadakan oleh Wiloka yaitu mengandung ranah yang mengacu pada ilmu psikologi. Wiloka ini dididirikan oleh Peppy Novianti Lucia seorang Psikolog. Kelas Wayang yang diadakan di Wiloka ini diampu oleh orang yang sama dengan guru di Sekolah Citaloka yaitu Mas Taufiq Hermawan, dengan mengusung kelas yang sama. Bedanya adalah di Kelas Wayang Wiloka pembelajaran wayang dilakukan sebagai sarana terapi psikologi anak didik yang dilanjutkan dengan catatan perkembangan psikologi anak didik itu sendiri.
Sepeninggalan Mbah Ledjar Sanggar Wayang Kancil yang berada di Jalan Mataran Kelurahan Danurejan masih tetap berdiri, kemudian ada penambahan Studio Wayang di daerah Janturan di dekat Kampus UAD III. Jika pembaca ingin ke Sanggar Wayang Kancil yang berada di Jl Mataram Kelurahan Danurejan, mintalah bertemu dengan Mba Lastri. Mba Lastri adalah anak dari almarhum Mbah Ledjar beliau mengetahu betul sejarah Wayang Kancil dan keseharian Mbah Ledjar semasa hidupnya. Jika pembaca ingin bermain ke Studio Wayang Kancil yang ada di Janturan di sebelah Kampus UAD III, maka mintalah untuk bertemu dengan Mas Taufiq Hermawan. Mas Taufiq dipercaya oleh Mba Lastri dan Mas Nanang untuk memegang Studio Wayang Kancil.
Profil
Fanspage Facebook Wayang Kancil (klik)
Instagram Wayang Kancil (klik)
Balai Budaya Minomartani (klik)
Sekolah Citaloka (klik)
Sekolah Wayang Citaloka / Swacita (klik)
Wiloka Workshop (klik)
Sanggar Wayang Kancil Jl Mataram Kelurahan Danurejan
Dari tangan Mbah Ledjar Subroto, maestro wayang, Wayang Kancil diciptakan di Yogyakarta sebagai sarana pendidikan karakter bagi anak-anak. Mbah Ledjar merupakan seniman asal Wonosobo, beliau adalah sosok yang
menyayangi anak-anak, dalam cerita wayang kancil ada penokohan protagonis dan antagonis yang tentu bertentangan. Biasanya dalam cerita tersebut tokoh protagonislah yang akhirnya menang. Beliau berharap anak-anak dapat membedakan tokoh protagonis yang harus ditiru dan juga tokoh antagonis yang tidak baik ditiru, sehingga Wayang kancil bisa menjadi sarana pendidikan karakter yang dapat dengan mudah diserap oleh anak-anak khususnya.
Nilai karakter yang disampaikan dalam Wayang Kancil sebetulnya bukan hanya tentang membedakan sifat baik dan buruk. Manusia kadang lupa bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam, untuk itu Wayang Kancil juga sebetulnya menyampaikan misi tentang kelestarian alam, dan mengajak anak-anak untuk mengetahui dan mencintai binatang agar binatang tidak punah.
Mas Nanang sedang melatih Ken
Wayang Kancil mementaskan cerita yang diangkat dari cerita rakyat masyarakat Melayu yang biasanya tertuang dalam serat Melayu dan juga cerita dari serat Jawa. Serat yang berasal dari Melayu ini ada yang berasal dari Sumatra Utara, sedangkan untuk serat Jawa biasanya diangkat dari serat gubahan Sunan Bonang. Serat-serat ini ditemukan oleh Mbah Ledjar di Leiden, Belanda.
Sepeninggalan Mbah Ledjar, 23 September 2017 lalu, Wayang Kancil berusaha untuk tetap dihidupkan. Mbah Ledjar mempunyai cucu bernama Ananto Wicaksono (Nanang) yang sekarang tinggal di Jepang. Beliau disebut-sebut sebagai pewaris dalang Wayang Kancil yang digeluti oleh Mbah Ledjar. Mbah Ledjar juga mempunyai beberapa murid di negara lain seperti Mbak Sarah L Bilby dari London British, Irene Ritchie dari Australia, dan seorang murid di Belanda. Mereka masih menggunakan Wayang Kancil di negara mereka masing-masing sebagai sarana penyampaian pesan yang berisikan nilai karakter, kelestarian lingkungan dan juga mengajak anak-anak untuk mencintai binatang agar tidak punah.
Upaya untuk menghidupkan Wayang Kancil sepeninggalan Mbah Ledjar juga masih banyak dilakukan, di Yogyakarta sendiri Balai Budaya Minomartani Ngaglik Sleman mengadakan pementasan Wayang Kancil Sebulan sekali dengan mengusung tema Tribute to Mbah Ledjar Subroto. Pementasan tersebut digelar selama sebelas bulan berturut-turut selama 2018 dengan membawakan lakon yang berbeda-beda. Tribute to Mbah Ledjar Subroto digelar oleh Balai Budaya Minomartani (klik untuk melihat profil) dan juga bekerja sama dengan Paguyuban Dalang dan Karawitan Wani Wirang dan juga beberapa sanggar karawitan seperti Sanggar Gangsa Kukilo. Bahkan menurut pengumuman pentas wayang bulanan Paguyuban Dalang Muda Sukrakasih di pendapa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY, Wayang Kancil mulai tahun ini (2018) mulai didaftarkan sebagai budaya Indonesia yang berasal dari Yogyakarta oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY.
Problem mulai muncul ketika orang Indonesia sebagai negara lahirnya Wayang Kancil jarang mengetahui keberadaan Wayang Kancil ini. Wayang Kancil justru dikenal di banyak negara asing dan mendapatkan banyak penghargaan di kancah internasional walaupun di kancah nasional Wayang Kancil juga memperoleh beberapa penghargaan.
Wayang Kancil mulai dihidupkan dan diperkenalkan ke anak-anak kecil di sekolah non formal. Lembaga pendidikan non formal seperti Sekolah Citaloka dan Wiloka yang berada di Yogyakarta mengusung kelas Wayang yang juga mengambil salah satu tema Wayang Kancil sebagai upaya penanaman pendidikan karakter kepada anak-anak sejak dini selain pengenalan terhadap hewan dan nama lingkungan abotik yang ada di alam.
Sekolah Citaloka (klik untuk melihat profil) sendiri adalah lembaga pendidikan non formal yang didirikan oleh Rouhaty Nur Hikmah seorang lulusan Ekonomi, istri dari salah satu dosen Design Interior ISI Yogyakarta bernama Gilda. Sekolah Citaloka mempunyai beberapa kelas seperti kelas yang berbau tentang lingkungan, budaya, kesehatan, dan salah satu kelasnya adalah kelas wayang Sekolah Wayang Citaloka (Swacita) (klik untuk melihat profil) untuk anak-anak. Kelas Wayang ini diampu oleh Mas Taufiq Hermawan jebolan jurusan Kriya Kulit ISI Yogyakarta. Dalam Kelas Wayang, Citaloka tak hanya mengusung tema wayang purwa tetapi juga mengenalkan wayang kancil untuk anak didiknya. Anak-anak diajarkan cara menggambar wayang, mewarnai wayang, mengenal nama-nama dan karakter setiap tokoh wayang dan juga dilatih untuk mementaskan wayang tersebut.
Wiloka (klik untuk melihat profil) mengusung tema yang hampir sama dengan Sekolah Citaloka, hanya saja ada spesialisasi dari setiap kelas yang diadakan oleh Wiloka yaitu mengandung ranah yang mengacu pada ilmu psikologi. Wiloka ini dididirikan oleh Peppy Novianti Lucia seorang Psikolog. Kelas Wayang yang diadakan di Wiloka ini diampu oleh orang yang sama dengan guru di Sekolah Citaloka yaitu Mas Taufiq Hermawan, dengan mengusung kelas yang sama. Bedanya adalah di Kelas Wayang Wiloka pembelajaran wayang dilakukan sebagai sarana terapi psikologi anak didik yang dilanjutkan dengan catatan perkembangan psikologi anak didik itu sendiri.
Beberapa teman Mbah Ledjar datang ke Sanggar Wayang Kancil untuk melayat, salah satunya adalah Bu Hedi Hinzler profesor Universitas Leiden Belanda dan juga Mba Sarah L Bilby murid mbah Ledjar yang berasal dari London. Bu Hedi datang ke Sanggar Wayang Kancil selama beberapa hari berturut-turut sebelum beliau kembali lagi ke Belanda. Saat Bu Hedi datang ke sanggar terjadi perbincangan yang cukup menarik. Pembicaraan itu hadir juga Mas Widi dosen Kehutanan UGM, beberapa orang dari Balai Lingkungan Hidup, mbak Mira UI dari Cibubur dan beberapa mahasiswa MMTC yang sedang mengerjakan Tugas Akhir (TA). Pelajaran berharga dari Bu Hedi, bahwa seni merupakan salah satu pendukung dalam kegiatan belajar-mengajar. Di negara barat, seni berjalan seiring dengan pelajaran lain. Seni menjadi sangat penting karena seni dapat mengasah dan mengembangkan kreativitas siswa. Menurut Bu Hedi pelajaran lain seperti matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan atau pelajaran lain juga memerlukan kreativitas. Beliau heran mengapa di Indonesia, seni justru dianggap nomor sekian dalam dunia pendidikan. Selain itu seni lokal Indonesia juga sangat berharga, misalnya Wayang Kancil dapat juga digunakan sebagai media pembelajaran yang atraktif. Bu Hedi sebagai warga Belanda atau orang asing menyayangkan orang-orang Nusantara yang enggan memakai budaya sendiri.
Sepeninggalan Mbah Ledjar Sanggar Wayang Kancil yang berada di Jalan Mataran Kelurahan Danurejan masih tetap berdiri, kemudian ada penambahan Studio Wayang di daerah Janturan di dekat Kampus UAD III. Jika pembaca ingin ke Sanggar Wayang Kancil yang berada di Jl Mataram Kelurahan Danurejan, mintalah bertemu dengan Mba Lastri. Mba Lastri adalah anak dari almarhum Mbah Ledjar beliau mengetahu betul sejarah Wayang Kancil dan keseharian Mbah Ledjar semasa hidupnya. Jika pembaca ingin bermain ke Studio Wayang Kancil yang ada di Janturan di sebelah Kampus UAD III, maka mintalah untuk bertemu dengan Mas Taufiq Hermawan. Mas Taufiq dipercaya oleh Mba Lastri dan Mas Nanang untuk memegang Studio Wayang Kancil.
Profil
Fanspage Facebook Wayang Kancil (klik)
Instagram Wayang Kancil (klik)
Balai Budaya Minomartani (klik)
Sekolah Citaloka (klik)
Sekolah Wayang Citaloka / Swacita (klik)
Wiloka Workshop (klik)
Nice info, bagus
BalasHapustrimakasih, semoga menjadi referensi yang bermanfaat
Hapus